Jumat, 16 September 2011

HUBUNGAN GEREJA DAN PEMERINTAH DI NIAS

Penduduk pulau Nias dari dulu sampai sekarang dikenal mayoritas menganut agama Kristen. Walau jiwa dan karakter ini, tidak dapat dipertahankan oleh sebagian mereka yang merantau ke luar pulau Nias, namun kalau
kita datang ke Nias suasana kekristenan ini masih sangat dirasakan. Memang di kota-kota seperti Gunung Sitoli, Lahewa, Sirombu dan Telukdalam, nampak adanya pergeseran karena kehadiran para pendatang dari Sumatera dan Aceh, namun hampir seluruh desa masyarakatnya masih memeluk Kristen dan bernaung di bawah nama gereja terbesar yaitu BNKP, atau Banua Niha Keriso Protestan. Ada seorang teman dari Jakarta yang melakukan aksi sosial di beberapa desa di pulau Nias, ketika ia bertanya pada warga desa, “apa agamamu ?”, lalu mereka menjawab : BNKP !
Dengan keadaan masyarakat seperti ini, tentu saja pegawai-pegawai pemerintah, mayoritas beragama Kristen. sehingga gereja dan pemerintah kelihatan “satu”, namun sesungguhnya dua institusi yang berbeda. Salah satu contoh ketika adanya acara “Penataran para pelayan BNKP” yang diadakan oleh Resort 35 Lahewa awal bulan Agustus lalu. Dalam acara ini turut dihadiri oleh jajaran eksekutif dan legislatif Kabupaten Nias Utara. Hadir Plt. Bupati Nias Utara, yang diwakili oleh Asisten dua, H.S. Hulu (Ama Tefi), Camat Lahewa Medin.Baeha (Ama Lois) dan Ketua DPRD yang diwakili oleh Wakil Ketua, Amizaro Waruwu. Pada acara pembukaan, yang dilaksanakan di gereja BNKP Lahewa, ketiga tokoh ini masing-masing diberi kesempatan menyampaikan kata sambutan. Diawali oleh Camat, kemudian DPRD dan terakhir Bupati.
Sebaliknya menurut informasi, pada acara-acara pemerintahan juga pihak gereja turut diundang. Misalnya ketika pemerintah mengadakan acara syukuran awal tahun atau HUT RI, Pendeta diminta menyampaikan Firman Tuhan. Juga pada pelantikan atau pengambilan sumpah para pegawai, pendeta mendampingi; bahkan termasuk pada acara Musrenbang, musyawarah perencanaan pembangunan, yang diadakan setahun sekali oleh pemerintah daerah, para pendeta diundang sebagai peserta. Pendeta dalam pandangan pemerintah tidak hanya rohaniwan tetapi juga sebagai tokoh masyarakat karena memiliki basis massa yaitu warga gereja di wilayahnya.
Dengan hubungan yang kelihatan harmonis ini, apakah dapat disimpulkan bahwa hubungan gereja dengan pemerintah di Nias, khususnya di Kabupaten Nias Utara sangat baik ? Atau hubungan ini sekedar formalitas ? Setiap orang dapat memberi pendapat “ya” atau “tidak” dengan alasan masing-masing. Terlepas dari bagaimana setiap orang memberi jawaban, namun yang jelas bahwa masyarakat Kabupaten Nias Utara adalah mayoritas warga gereja. Atau dengan kata lain menganut agama Kristen. Karena itu hampir seluruh pegawai negeri sipil (belum seratus persen) adalah warga gereja. Dengan demikian memang bagi para pejabat pemerintahan, sedikit pun tidak ada hambatan ketika mereka diundang oleh gereja, bahkan sekalipun acaranya di dalam gedung gereja dan sekaligus turut mengikuti ibadahnya tidak ada persoalan. Tidak seperti di beberapa daerah di Indonesia, dimana hal ini sulit terjadi.
Dilihat dari sisi yang lain, masyarakat Nias yang mayoritas warga gereja dapat dikatakan adalah sebuah kekuatan. Kekuatan di aras lokal, kalau dapat dikelola dengan baik; dan kekuatan di aras nasional, dalam kaitan dengan politik perwilayahan. Di aras lokal menjadi sebuah kekuatan, karena jika seluruh pejabat pemerintah senantiasa sadar bahwa mereka tidak hanya sekedar pegawai pemerintah dan mengerjakan urusan pemerintahan. Tetapi menjadi pegawai pemerintah adalah suatu panggilan, vocation, yang bertujuan untuk memberlakukan arti dan makna iman yang telah dimiliki melalui jabatan sebagai pegawai pemerintah. Dengan duduk di pemerintahan berarti merupakan kesempatan berkarya menghadirkan Kerajaan Allah di tengah-tengah masyarakat. Singkatnya, ketika pada hari minggu datang bersekutu dengan Tuhan di gereja, mendengar sabda Tuhan, maka tempat untuk mempraktekkan sabda itu adalah ketika melaksanakan tugas-tugas pemerintahan. Kalau saja sabda Tuhan dengan tegas mengatakan bahwa korupsi itu adalah perbuatan salah dan dosa, maka selaku pegawai pemerintah, benar-benar harus takut untuk tidak melakukan perbuatan itu. Kalau sabda Tuhan dengan tegas mengatakan bahwa menolong rakyat itu, dengan melepaskan mereka dari kemiskinan dan kebodohan, adalah perbuatan yang mulia, itu adalah kasih, maka hal tersebut dapat diwujudkan melalui pelaksanaan tugas-tugas pemerintahan, yang harus memihak kepada kepentingan rakyat.
Oleh sebab itu sungguh ironis dan tidak dapat diterima oleh akal sehat kalau ada segelintir warga gereja yang taat beribadah dan rajin mendengar firman, hanya karena sebagai pegawai pemerintah maka memakai kuasa dari jabatan tersebut, justru untuk menyengsarakan rakyat. Menyengsarakan rakyat dengan cara menakut-nakuti, mengancam, memprovokasi atau mengadu-domba rakyatnya sendiri. Apalagi yang ada kaitannya dengan dana-dana bantuan yang jelas-jelas untuk memberdayakan dan menolong rakyatnya justru di alihkan entah kemana. Rakyat tidak bersuara, takut, semakin bodoh. Rakyat “dijajah” dengan kuasa yang ada. Pertanyaannya, apakah hal ini terjadi, karena ketika seseorang dipromosikan untuk jabatan tertentu, sering tidak lagi atas sebuah kualitas atau prestasi tetapi karena factor-faktor lain. Maka akibatnya kedudukan dan jabatan menjadi sarana perlombaan dan prestise.
Gereja pun tidak dapat berbuat banyak. Berita Kabar Baik dari mimbar gereja ibarat suara para nabi yang berseru-seru di padang gurun, hanya terdengar sayup-sayup. Di tambah pula sampai saat ini kehidupan gereja belum bisa mandiri. Malah ada sikap ketergantungan kepada pemerintah baik pemerintah sebagai lembaga maupun pemerintah sebagai pribadi-pribadi pegawainya. Gereja selalu berharap mendapat bantuan dari pemerintah atas segala kegiatan dan programnya, bahkan kalau memungkinkan termasuk menanggung biaya hidup para pelayannya. Kalau keadaannya sudah demikian, beranikah gereja bersuara keras kepada pemerintah ? Beranikah gereja mengritik perilaku pegawai pemerintah ?
Membangun Nias, khususnya Kabupaten Nias Utara sesungguhnya dapat lebih cepat dan dinamis, kalau sekiranya pemerintah, dalam hal ini para pegawainya sangat sadar bahwa mereka bekerja saat ini, sebagai dan dalam jabatan apapun, adalah sekaligus untuk mempraktekkan apa yang dihendaki oleh Allah Bapa di bumi ini. Tidak boleh ada sedikitpun dalam hati dan pikiran bahwa iman hanya ada dan hidup di dalam ruang dan bangunan gereja. Tetapi iman sesungguhnya menjadi hidup pada apa yang dikerjakan sehari-hari. Hubungan gereja dan pemerintah menjadi lebih indah jika semua bertekad dan komit bahwa “selagi masih ada kesempatan, hidup ini harus memberi buah”.

1 komentar:

  1. buat para memerintah di KANIRA, lakukan yang terbaik untuk NIAS UTARA, selagi ada ksempatan,.!! agar masyarakat KANIRA dapt tersenyum melihat suasana pemerintahan yang bapak/ibu pimpin dengan baik...

    BalasHapus